Minggu, 14 Desember 2014

SMS Promosi

Promosikan Bisnis Anda dengan Blast SMS ke target daerah sender yg bisa Anda tentukan untuk meningkatkan omset Anda

Prosedurnya :
- kirimkn materi promosi (mak. /sms 160 karakter)
- tentukan target sender(jakarta, denpasar, batam, dsb)
- transfer
- proses
- di kirim bukti laporan ke email 

Paket standar :
1. 1.000 sms, Rp.50.000,-
2. 2.000 sms, Rp.100.000,-
3. 3.000 sms, Rp.150.000,-
4. 4.000 sms, Rp.200.000,-
5. 5.000 sms, Rp.250.000,-
6. 6.000 sms, Rp.300.000,-
7. 7.000 sms, Rp.350.000,-
8. 8.000 sms, Rp.400,000,-
9. 9.000 sms, Rp.450.000,-
10. 10.000 sms, Rp.500.000,- 

Paket Bisnis :
1. 50.000 sms, Rp.1.000.000,-
2. 100.000 sms, Rp.2.000.000,-
3. 150.000 sms, Rp.3.000.000,-
4. 200.000 sms, Rp.4.000.000,-
5. 250.000 sms, Rp.5.000.000,-
6. 300.000 sms, Rp.6.000.000,-
7. 350.000 sms, Rp.7.000.000,-
8. 400.000 sms, Rp.8.000.000,-
9. 450.000 sms, Rp.9.000.000
10. 500.000 sms, Rp.10.000.000,- 

Paket plus :
Database no orang kaya + Kantor perusahaan Indonesia (legal dg alamatny) update an terbaru 
1. 1.000 sms, Rp.200.000,-
2. 2.000 sms, Rp.400.000,-
3. 3.000 sms, Rp.600.000,-
4. 4.000 sms, Rp.800.000,-
5. 5.000 sms, Rp1.000.000,-
6. 6.000 sms, Rp.1.200.000,-
7. 7.000 sms, Rp.1.400.000,-
8. 8.000 sms, Rp.1.600,000,-
9. 9.000 sms, Rp.1.800.000,-
10. 10.000 sms, Rp.2.000.000,-

Info :
082221777706
cs 1 pin:7CD0484E 
cs 2 pin:2BA8DC85

Jumat, 12 Desember 2014

Buat Website Toko Online dengan biaya terjangkau

Anda mungkin bertanya, “Buat apa punya website? Kami sudah punya brosur yang bagus…”. Pertanyaan yang bagus.
Tahukah anda, website dapat diakses dari seluruh dunia sehingga dapat dilihat oleh calon konsumen selama 24 jam sehari, 365 hari setahun. Ratusan juta orang online setiap harinya untuk menggunakan email, chatting, mencari informasi, membeli produk di toko online, bahkan hiburan semata. Mayoritas pengguna internet (kalangan muda dan pebisnis) akan berharap suatu perusahaan punya website. Sekarang sudah lazim orang berkata, “Produknya bagus, pengen lihat di internet.” atau “Perusahaan apa itu, alamat websitenya mana?”.
Website jauh lebih cepat diakses, lebih mudah dimengerti dan efektif dalam hal biaya dibandingkan media  lain. Anda dapat memasang artikel, gambar, detil produk atau segala macam informasi bahkan online store dan peta online yang dapat memandu klien ke kantor anda (dengan bantuan Google Map contohnya). Website dapat menjadi bagian penting promosi perusahaan dan strategi marketing. Pembuatan website perlu menjadi agenda marketing yang serius. Lebih dari itu website dapat meningkatkan bonafiditas perusahaan.
Berikutnya pada artikel ini akan kami rangkum 10 keuntungan mempunyai website
  1. Publikasi bisnis, jasa dan produk ke jutaan (bahkan miliaran) calon konsumen. Menaikkan penjualan.
  2. Update informasi dengan cepat dan mudah.
  3. Menghemat biaya komunikasi dan administrasi.
  4. Beriklan dan menyampaikan informasi tanpa henti 24 jam sehari. Edukasi klien dan calon klien tentang produk atau jasa yang anda berikan.
  5. Outlet Perusahaan tambahan di dunia maya. Terima order kapanpun.
  6. Brand Awarness dengan cara iklan di website terkemuka atau dengan tukar link.
  7. Mempermudah klien dalam melakukan bisnis. Meningkatkan kepercayaan atas bisnis yang anda berikan. Desain dan isi website dapat mencerminkan keseriusan anda atau perusahaan anda.
  8. Bonafiditas naik. Kartu nama tidak lagi hanya berisi kontak alamat, telepon dan email tapi ditambah dengan alamat website anda.
  9. Resiko kehilangan calon klien atau resiko klien kehilangan informasi dapat lebih ditekan seminim mungkin
  10. Menjalin bisnis dengan partner dari luar negeri
Bayangkan skenario ini, anda berhubungan dengan klien yang meminta informasi bisnis atau produk. Betapa banyak tugas yang harus dilakukan untuk telepon dan mengirim brosur, belum termasuk biayanya. Akan sangat menyenangkan bila kita dapat berkata, “Anda dapat melihat website kami, kami yakin informasi yang anda butuhkan ada disana.”
Apabila anda atau perusahaan anda tidak punya internet, pihak yang akan mengambil keuntungan adalah pesaing anda yang punya website.
Untuk membuat website berkualitas, setidaknya perlu 5 komponen:
  1. Ide bagus untuk diaplikasikan di website anda
  2. Webste Developer yang dapat diandalkan
  3. Domain atau sebut saja alamat website yang bagus dan Hosting yang baik dalam hal kecepatan akses dan stabilitas
  4. strategi marketing yang jitu
  5. Customer Service yang responsif
Untuk kelima hal di atas plus poin-poin lainnya, kami Cora Media Interaktive siap membantu anda dalam hal pembuatan website, pengurusan website berikut program online marketing.
Jasa Buat Website Toko Online Profesional

Paket Buat Web :
- Regular, Rp.500rb
- Bisnis, Rp.750rb
- Profesional, Rp.1juta

Pin BB: 2BA8DC85

Jumat, 14 September 2012

Sejarah Ushul Fiqih

Ushul fiqh ada sejak fiqh ada. Di mana ada fiqh, maka di sana wajib ada ushul fiqh, ketentuan dan kaidahnya. Karena fiqh adalah hakikat yang dicari ilmu ushul fiqh. Sekalipun keberadaannya bersamaan, fiqh lebih dulu dibukukan dari ushul fiqh. Dalam arti problematika, kaidah dan bab-bab di dalamnya lebih dulu dibukukan, dipisah dan dibeda-bedakan.

Hal ini tidak berarti bahwa ushul fiqh tidak ada sebelum adanya fiqh atau sebelum dibukukan, atau bahwa ulama fiqh tidak menggunakan kaidah dan metode yang tetap dalam mencetuskan hukum. Karena faktanya, kaidah dan metode ushul fiqh sudah menyatu dalam jiwa para mujtahid. Mereka telah bergumul dengannya sekalipun tidak terang-terangan. Maka saat sahabat sekaligus ulama fiqh, Abdullah Ibnu Mas’ud mengatakan bahwa, “masa tunggu (iddah) wanita hamil yang ditinggal mati suaminya adalah sampai dia melahirkan”, maka beliau mendasarkan pendapatnya pada firman Allah, “…dan (bagi) wanita-wanita hamil, (maka) waktu tunggunya adalah sampai dia melahirkan…” (At-Thalaq: 4). Beliau mengambil dalil surat At-Thalaq karena ayat ini turun setelah turunnya surat Al-Baqarah: 234, “Orang-orang yang mati dan meninggalkan isteri, maka mereka (isteri) harus menahan diri mereka selama empat bulan sepuluh hari.” Dengan apa yang dilakukan itu, berarti Abdullah bin Mas’ud telah mengamalkan kaidah ushul fiqh, “Nash yang datang terakhir menggugurkan nash yang datang sebelumnya,” sekalipun beliau tidak menjelaskannya.

Pada umumnya, sesuatu itu ada, baru kemudian dibukukan. Pembukuan menerangkan keberadaanya, bukan munculnya, seperti halnya dalam ilmu Nahwu (ilmu alat) dan Ilmu Manthiq (ilmu logika). Orang arab selalu me-rafa’-kan fa’il dan me-nashab-kan maf’ul dalam setiap percakapannya, maka berlakulah kaidah itu sebagai bagian dari kaidah ilmu nahwu, sekalipun ilmu nahwu belum dibukukan. Orang berakal akan berdiskusi berdasarkan hal-hal yang pasti kebenarannya (aksioma/al-badihi), sebelum ilmu mantiq dan kaidah-kaidahnya dibukukan.

Dengan demikian, ushul fiqh adalah ilmu yang menyertai fiqh sejak munculnya, bahkan ada sebelum fiqh. Sebab ushul fiqh adalah aturan pencetusan hukum dan ukuran pendapat, tetapi saat itu belum dianggap perlu untuk membukukannya. Pada masa Nabi Muhammad SAW, tidak perlu membahas kaidah ushul fiqh apalagi membukukannya, karena Nabi sendiri adalah tempat rujukan fatwa dan hukum. Pada waktu itu tidak ada satu faktor apapun yang mengharuskan ijtihad atau fiqh. Tidak ada ijtihad berarti tidak perlu metode dan kaidah pencetusan hukum.

Setelah Nabi SAW wafat, muncul banyak permasalahan baru yang hanya bisa diselesaikan dengan ijtihad dan dicetuskan hukumnya dari Kitab (Al Quran) dan Sunnah. Akan tetapi ulama fiqh dari kalangan sahabat belum merasa perlu untuk berbicara kaidah atau metode dalam pengambilan dalil dan pencetusan hukum, karena mereka memahami bahasa arab dan seluk-beluknya serta segi penunjukan kata dan kalimat pada makna yang dikandungnya. Mereka mengetahui rahasia dan hikmah pensyariatan, sebab turunnya Al Quran dan datangnya sunnah.

Cara sahabat dalam mencetuskan hukum: ketika muncul sebuah permasalahan baru, mereka mencari hikmahnya dalam Kitab, jika belum menemukan mereka mencarinya ke sunnah, jika belum menemukan juga, mereka berijtihad dengan cahaya pengetahuan mereka tentang maqashid as-syariah (tujuan pensyariatan) dan apa yang diisyaratkan oleh nash. Mereka tidak menemui kesulitan dalam berijtihad dan tidak perlu membukukan kaidah-kaidahnya. Mereka benar-benar dibantu oleh jiwa ke-faqihan yang mereka dapatkan setelah menemani dan menyertai Nabi SAW sekian lama. Para sahabat memiliki keistimewaan berupa ingatan yang tajam, jiwa yang bersih dan daya tangkap yang cepat.

Sampai masa sahabat lewat, kaidah ushul fiqh belum dibukukan, demikian pula pada masa tabi’in, mereka mengikuti cara sahabat dalam mencetuskan hukum. Tabi’in tidak merasa perlu membukukan kaidah pencetusan hukum, karena mereka hidup dekat dengan masa Nabi dan telah belajar banyak dari sahabat.

Setelah lewat masa tabi’in, kekuasaan Islam semakin meluas, permasalahan dan hal-hal baru muncul, orang arab dan non arab bercampur sehingga bahasa arab tidak murni lagi, muncul banyak ijtihad, mujtahid dan cara mereka dalam mencetuskan hukum, diskusi dan perdebatan meluas, keraguan dan kebimbangan menjamur. Karena itulah ulama fiqh kemudian menganggap perlu untuk meletakkan kaidah dan metode berijtihad, agar para mujtahid dapat menjadikannya rujukan dan ukuran kebenaran saat terjadi perselisihan.

Kaidah-kaidah yang mereka letakkan adalah berlandaskan pada tata bahasa arab, tujuan dan rahasia pensyariatan, maslahat (kebaikan), dan cara sahabat dalam pengambilan dalil. Dari semua kaidah dan pembahasan itulah ilmu Ushul Fiqh muncul.

Ilmu ushul fiqh muncul –dalam bentuk pembukuan- adalah sebagai konsekuensi dari banyaknya kaidah yang muncul dalam perdebatan ulama ketika menjelaskan hukum, mereka menyebutkan hukum, dalil dan segi penunjukan dalil. Perbedaan pendapat di kalangan ulama fiqh didukung oleh kaidah ushul fiqh, masing-masing mereka mendasarkan pendapatnya pada kaidah ushul untuk memperkuat analisis, meningkatkan pamor madzhab (aliran), dan menjelaskan rujukan dalam ijtihad mereka.

Ada pendapat yang mengatakan bahwa ulama yang pertama kali menulis tentang ushul fiqh adalah Abu Yusuf, ulama pengikut madzhab Hanafiyah, akan tetapi kitab-kitabnya tidak pernah kita temukan.

Sedangkan pendapat yang umum di kalangan ulama, bahwa ulama yang pertama kali membukukan ilmu ushul fiqh adalah Imam Muhammad bin Idris As-Syafi’i (w. 204 H).

Imam Syafi’i menulis kitab Ar Risalah yang terkenal. Di dalamnya Syafi’i berbicara tentang Al Quran, bagaimana Al Quran menjelaskan hukum, sunah menjelaskan Al Quran, Ijma’ dan Qiyas, Nasikh dan Mansukh, Amar dan Nahi, berhujjah (berargumentasi) dengan hadits ahad, dan bahasan ushul fiqh yang lain.
Syafi’i menulis Ar-Risalah dengan teliti, mendalam, setiap pendapatnya didasarkan dalil, dan mendiskusikan pendapat yang berbeda secara ilmiah, sempurna dan mengagumkan.

Setelah Syafi’i, Ahmad bin Hanbal menulis kitab tentang taat kepada Rasulullah SAW, kedua tentang nasikh dan mansukh dan ketiga tentang ‘ilat. Setelah itu, para ulama berbondong-bondong menulis, menyusun, memperluas dan menambah bahasan.

Masalah Istishab


Pendahuluan

Para ahli ushul fiqh sepakat bahwa sumber hukum syariat terdiri atas al-Qur’an,Hadits,
ijma’ , dan Qiyas. Di samping ketiga sumber hukum tersebut ada juga istishan, istishhab,masalah mursalah.

Islam memberikan kemudahan bagi umatnya untuk melakukan suatu amalibadah, berdasarkan sumber-sumber hukum yang telah ada, diharapkan dapatmelaksankan suatu ibadah tanpa kesukaran dan kesulitan. Oleh karenanya umat Islamdiberi ilmu dan akal fikiran untuk menggali hukum-hukum dan berijtihad berdasarkankemampuanya dan kapasitas keilmuannya. Sebagai mana disebutkan dalam haditsnabi.Dalam hadits Rasulullah menanyakan pada sahabat Mu’adz:

"Bagaimana (cara)kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu? Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak memperolehnyadalam al-Qur'an? Mu'adz berkata: Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Akuakan berijtihad dengan menggunakan akalku dengan berusaha sungguh-sungguh.(Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena iaberbuat sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.

" (HR. Ahmad Abu Dauddan at-Tirmidzi)Dari hadits ini dapat dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalammenetapkan hukum suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang dapat dijadikan sebagai dasarnya.Makalah ini akan membahas masalah istishhab, sejauh mana kehujjahannyamenurut pandangan ulama ushul fiqh.

Pengertian
Arti Istishhab ialah menuntut bersahabat atau menuntut beserta.

Danmunurut arti istilah ulama ushul ialah menetapakan hukum pekerjaan padamasa yang lalu karena dianggap tidak ada pada masa sekarang.

 Menurut ulama ahluushul fiqh yaitu menetapkan hukum suatu perkara pada zaman sekarang atau zamanyang akan datang sesuai dengan hukum yang ada pada pada masa lampau karena tidak ada dalil yang merubahnya.

Sebagian lain menjelaskan,istishhab ialah melestarikan suatu ketentuan hukumyang telah ada pada waktu lalu, hingga ada dalil yang mengubahnya.

 Menurut Imam as-Syaukany:

 Istishhabnadalah dali yang mengandung tetapnya suatu perkara selama tidak adasuatu yang mengubahnya. Tetapnya sesuatu perkara selama tidak ada dalil yang merubahnya. Istilah ini bisa dipahami dengan makna : apa yang sudah ditetapkan padamasa lalu pada dasarnya merupakan sebagai sebuah ketetapan pula pada masa yangakan datang.

 Menurut Abdul Karim Zaidan (ahli Ushul Fiqh Berkebangsaan Mesir),
Istishhab yaitu menganggap tetapnya sesuatu seperti keadaannya semula selama belum terbuktiada sesuatu yang mengubahnya.

Menurut Ibnu Hazm,
Istishhab adalah tetapnya hukum asal yang ditetapkandengan nas sampai adanya dalil yang merubahnya, beliau membatasi istishhab denganhukum asal yang didasarkan pada nas, bukan hanya hukum asal yang ditetapkan darikebolehkan semata.

Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah tokoh ushul fiqh Hanbali, yaitu:
Yaitu tetapnya sebuah ketentuan yang sebelumnya sudah menjadi suatuketentuan atau tetapnya sebuah larangan yang sebelumnya sudah menjadi larangan.Menempatkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan sesuatu yangmemang tiada samapai ada bukti yang mengubah kedudukannya. Misalnya, seseorang yang diketahui masih hidup pada masa tertentu, tetapi dianggap telah wafat.Demikian pula halnya, seseoranga yang sudah memastikan bahwa ia telah berwudhu,dianggap tetap wudhunya selama belum terjadi hal yang membuktikan batalwudhunya. Dalam hal ini adanya keraguan batalnya wudhu tanpa bukti yang nyata,tidak bias mengubah kedudukan hukum wudhu tersebut. Istishhab ialah menjadikanlestari keadaan sesuatu yang sudah ditetapkan pada masa lalu sebelum ada dalil yang merubahnya.
Jadi, apabila sudah ditetapkan suatu perkara pada suatu waktu, maka ketentuanhukumnya seperti itu, sebelum ada dalil baru yang mengubahnya. Sebaliknya apabilaseuatu perkara telah ditolak pada suatu waktu, maka penolakan tersebut tetap berlakusampai akhir masa, sebelum terdapat dalil yang menerima (mentsabitkan) perkara itu.

Macam-macam Istishhab
Menurut Abu Zahrah menyebutkan empat macam istishhab sebagai berikut:1.

Istishhab al-ibahah al-ashliyah Yaitu istishhab
yang didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yang mubah(boleh). Istishhab semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidangmuamalah. Landasannya adalah setiap prinsip yang mengatakan, bahwa dasar darisesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam kehidupan umat manusia selamatidak ada dalil yang melarangnya, misalnya makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan dan lain-lain selama tidak ada dalil yang melarangnya, adalah halaldimakan atau boleh dikerjakan. Prinsip tersebut berdasarkan ayat 29 Surat al-Baqarah:

Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu dan Diaberkehendak (menciptakan) langit, lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Mahamengetahui segala sesuatu.( QS. Al-Baqarah 2: 29)
Ayat tersebut menegakan bahwa segala apa yang ada di bumi dijadikan untuk umat manusia dalam pengertian boleh dimakan makananya atau boleh dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan manusia. Dalam konteks ini, jika adalarangan berarti pada makanan atau dalam perbuatan itu terdapat bahaya bagikehidupan manusia. Maka berdasarkan hal tersebut di atas, sesuatu makanan atau sesuatu tindakan tetap dianggap halal atau boleh dilakukan seperti hukum aslinya,selama tidak ada dalil yang melarang.

2.Istishhab al-baraah al-ashliyah Istishhab al-baraah al-ashliyah
(kebebasan asli) seperti kebebasan tanggung jawab beben syara’ senbelum ada dalil yang menunjukan nadanya beban tersebut,semisal:

• Jika ia masih kecil, maka ia bebas sebelum sampai baligh.
• Jika ia tidak mengetahui dan ia tinggal di negeri harby, maka ia bebas menjelang ia tahu dan ia atau menjelang ia sampai ke negeriIslam.
• Tidak tsabit  -nya hak antara suami isteri, sebelum terjadi akad nikahyang men-tsabitkan hak tersebut.

Istishhabyang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya setiap orang bebasdari tuntutan bebanta’lif sampai ada dalil yan mengubah statusnya itu dan bebas dariutang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah statusnya itu. Seorang yangmenuntut bahwa haknya terdapat pada diri seseoarang, ia harus mampumembuktikannya karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari segala tuntutan, danstatus bebasnya itu tidak bias diganggu gugat kecuali dengan bukti yang jelas. Jadiseseorang dengan prinsipistishhabakan selalu dianggap berada pada status tidak  bersalahnya sampai ada bukti yang mengubahnya statusnya itu.
3.Istishhab al hukm
Yaitu tetapnya hukum sesuatu mubah sebelum ada dalil yang menunjukan iadiharamkan dan tetapnya hukum sesuatu haram sebelum ada alil yang menunjukankebolehannya.
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam al-Qur’an surat al-Baqarahayat 29.
 Istishhab yang didasarkan atas tetapnya suatu hukum yang sudah ada selamatidak ada bukti yang mengubahnya. Misalnya, seseorang yang memiliki sebidangtanah atau harta bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap adaselama tidak terbukti dengan peristiwa yang mengubah status hukum itu, seperti dijualatau dihibahkannya pada pihak lain. Seseorang yang sudah jelas berhutang pada sifulan, akan selalu dianggap berhutang sampai ada yang mengubahnya, sepertimembayarnya sendiri atau pihak yang berpiutang membebaskannya dari utang itu.
Seorang yang jelas telah mengakadkan nikah terhadap seorang wanita, maka wanitaakan dianggap sebagai istirinya sampai terbukti telah diceraikannya.

4.Istishhab al-wasf
Yaitu istishhab yang didasarkan pada anggapan masih tetapnya sifat yangdiketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya sifat hidupyang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai ada buktisampai ia telah wafat. Demikian pula air yang diketahui bersih, tetap dianggap bersihselama tidak ada bukti yang mengubah statusnya itu.
Inilah istishhab yang jadi pertikaian antara Syafi’i dan Hanafi serta Zaidiyah dan Zahiriyah disatu pihak denganHanafiyah dan Malikiyah dipihak lain.Menurut Syafi’iyah, Hanabilah serta Zaidiyah dan Zahiriyah berpendapat bahwahak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap hak-haknya terdahulu. Dalam masalah seorang yang hilang tak tahu rimbanya Dalammasalah orang yang hilang tak tahu rimbanya dan tak diketahui hidup matinya, tetapdihukumkan hidup berdasarkan istishhab, sebelum ada keterangan kematiannya. Olehkarena itu, sama dengan orang yang masih hidup, sehingga ia tetap mewarisi,menerima wasiat menerima hak-hak lain semasa hilangnya, yang merupaka hak-hak  baru. Dia pun belum boleh diwarisi dan istrinya tetap sebagai istrinya.
Hanafiyah dan Malikiyah membatasi istishhab terdapat aspek yang menolak sajadan tidak terhadap aspek yang menarik (ijaby), menjadi hujjah untuk menolak tetapitidak untuk men-tsabit-kan. Ini berarti bahwa orang yang hilang tadi hanyamempunyai hak terhadap hak-haknya yang tealah ada, dengan arti tidak bolehdihilangkan dari dia, tetapi ia tidak mempunyai hak baru yang belum ada sejak hilang.
Ini berarti pula bahwa istishhab bukan merupakan dalil baru yang men-tsabit-kan, tetapi berpegang pada asal yang sudah tsabit dan tidak ada dalil yangmengubahnya. Maka pengaruhnya hanya terbatas pada hak-hak yang sudah ada dantidak melebar kepada hal-hak baru yang belum ada sebelumnya. Maka orang yanghilang tadi tetap dihukumi hidup berdasar istishhab dan hak-haknya yang sudah tetapmenjadi miliknya, tidak boleh diwarisi, tidak boleh dikawini istrinya sebelum ada petujuk tentang kematiannya atau sebelum diputuskan oleh Qadi. Akan tetapi ia tidak  boleh lagi mewarisi pewarisnya, tetapi baginya ditahan dulu menjelang diketahui perihalnya.
Berdasarkan al-Istishhab ini lah para ahlu fiqh mengeluarkan beberapa
qaidah fiqiyyah, antara lain:

Qaidah Pertama :
 Menurut hukum asal adalah kekal apa yang terdahulu sebagaimana adanya sehingga sabit ada sesuatu yang mengubahnya.
Oleh itu orang yang hilang umpamanya adalah dihukumkan masih hidupsehingga ada bukti atau dalil yang menunjukkan kepada kematiannya. Dengan itu,harta orang hilang itu tidak difara'idhkan dan haknya di dalam harta waris dibekukan sehingga di-tsabit-kan orang itu masih ada atau hidup atau mati menurut jumhur ulama.
Qaidah kedua:
Hukum asal terhadap sesuatu itu adalah boleh.
Berdasarkan kaedah ini adalah dihukumkan sah setiap akad atau tindakan-tindakan yang tidak ada dalil syara' yang menunjukkan dilarangnya atau batalnya akadatau tindakan-tindakan itu.
Qaidah ketiga:
Hukum asal pada tanggungan itu ialah bebas dari pada segala bebantanggungan dan kewajiban menunaikan hak.Oleh itu tidak harus mensabitkan sesuatu tanggungan ke atas seseorang ataumenisbahkan sesuatu kepada seseorang kecuali dengan ada dalil.
Qaidah keempat:
Keyakinan tidak hilang dengan keraguan yaitu terangkat hukum sesuatu yang diyakini dengan keraguan.
 Contoh dari qaidah itu antara lain, barangsiapa yang ragu-ragu dalam hitunganraka’at shalat, apakah 3 atau 4 raka’at maka dia wajib menetapkan 3 raka’at.
Barangsiapa yang ragu-ragu apakah masih suci atau sudah batal, maka dia wajib yakin bahwa dia masih suci dan barangsiapa yang yakin kalau dia telah berhadas dan ragu-ragu apakah sudah berwudlu maka dia wajib yakin bahwa dia masih hadas. Oleh itu barang siapa yakin bahawa dia telah berwudhu dan merasa ragu-ragu berhadas,dihukumkan kekal wudhunya itu.

Kehujahan Istishhab
Istishhabitu lain dari dalil syar’i yang menjadi dasar dari mujtahid untuk mengetahui hukum, tentang apa yang dikemukakan kepadanya. Ahli Ushulmengatakan, selain dari lingkungan fatwa dan hukum terhadap sesuatu itu, maka tetapdemikian adanya, sebelum ada dalil yang mengubahnya. Seorang itu tetap dianggaphidup di mana dia berada, sebelum ada keterangan yang jelas yang mengatakan bahwaatas kematiannya itu. Orang tahu bahwa si fulan adalah istri si fulan, hal inidibuktikan dengan perkawinannya itu, sebelum ada perceraian atas perkawinannyaitu. Setiap orang tahu perbuatan hukum, sebelum ada bukti atas tidak adanya itu.Sebaliknya, orang tidak dianggap tahu tidak adanya perbuatan _hukum, sebelumdikemukakan bukti atas adanya itu.
Pengunaan istishhab sebagai hujah ketika tidak ada dalil itu para ulama terbagimenjadi tiga mazhab:

1.Pendapat mayoritas ahli ilmu kalam:
Menurut mereka istishhab itu sama sekali tidak dapat dijadikan hujjah karenaketetapkan hukum di zaman awal itu membutuhkan dalil sebagaimana padazaman berikutnya. Sesungguhnya pada suatu zaman itu boleh ada dalil dan boleh tidak. Menurut mereka ketentuan ini khusus terkait dengan hukum-hukum syara’. Sedangkan yang terkait dengan hal-hal yang bersifat fisik ituAllah swt memberlakukan adat kebiasaan dengan istishhab

2.Pendapat jumhur ulama Hanafiyah kontemporer (masa sekarang), menurut merekaistishhab itu dapat dijadikan hujjah untuk meniadakan suatu hukum bukan untuk menetapkan, maksudnya meniadakan suatu hukum yang belumditetapkan, sehingga dikatakan bahwasanya istishhab
itu menjadi hujjah untuk menetapkan sesuatu hukum sesuaai hukum asal yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang telah ada.
3.Pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah danZahiriyah
menurut mereka istishhab itu dapat dijadikan hujjah secara mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah tetap samapai ada dalil yang merubahnya,sehingga mencakup penetapkan hukum yang sudah ada dan menetapkanhukum yang belum ada.
Ulama syafi’iyah mendukung kehujjahan istishhab dengan dua dalil
1.Bahwasanya sesuatu yang di zaman awal telah ditetrapkan ada dan tidak adanya, tidak jelas secara pasti maupun dhani bahwa sesuatu tersebut telahhilang, maka secara pasti harus hukumya harus ditetapkan sesuai hukumyang telah ada.

2.Bahwasanya tetapnya hukum pada sesuatu yang ada kemudian itu lebihutama dari pada ketiadaan hukum.3.Menurut ijma’ istishhab itu terjadi pada banyak persoalan-persoalan fiqhyang bersifat
 furu’iyah
, seperti tetapnya wudlu, hadas, hubungan suamiisteri, dan kepemilikan walaupun ada keraguan bahwa hal-hal tersebut telah hilang.
Istishhab suatu hukum yang telah ditetapkan dengan ijma’ yang memungkinkan terjadi khilaf di antara para ulama, misalnya para mujtahid telah sepakat suatu hukum pada kondisi tertentu, namun karena sifat dari sesuatu yang hukumnya disepakati itu berubah sehingga para ulama berselisih pendapat, seperti ijma’ para fuqaha atassahnya shalat ketika tidak ada air, ketika orang yang bertayamum selesaimelaksanakan shalat sebelum melihat air maka shalatnya sah. Namun apabila iamelihat air ditengah-tengah shalat, apakah shalatnya menjadi batal sehingga harusmengulangi lagi dengan wudlu ataukah tidak?
Menurut imam Syafi’i dan imam Malik shalatnya tidak sah, ia cukup menyempurnakannya sampai selesai karena menurut ijma’ shalat tersebut sah sebelummelihat air, sehingga ijma’ tersbut dijadikan istishhab samapi ada dalil yangmenunjukan melihat air itu dapat membatalkan shalat., dikarena dalil yangmenunjukan atas sahnya masuk dalam ritual shalat itu menunjukkan atas tetapnyahukum tersebut sampai ada dalil yang memutusnya. Dilain pihak para ulama yang melarang istishhab seperti imam Abu Hanifah dan imam Ahmad itu berpendapat bahwa shalatnya orang tersebut batal tanpa melihat adanya ijma’ tentang sahnyashalat sebelum melihat air., karena ijma’ tersebut terjadi ketika air tidak ada bukanketika air itu ada sehingga orang yang mau menyamakan sesuatu yang tidak adadengan sesuatu yang ada itu harus menunjukan dalil.
Berdasar di sekitar inilah hukum itu ada. Hak milik itu tetap dianggap tetap bagisiapa saja dengan salah satu sebab yang dapat dipertahankan sebelum ditetapkan apayang menghilangkan hak milik tersebut. Persetubuhan dianggap halal bagi suami istridengan adanya akad nikah, sebelum ada keterangan untuk membubarkan perkawinanitu. Perjanjian yang bersangkut dengan utang piutang dianggap pasti sebelum ada bukti atas hapusnya utang piutang tersebut. Tanggungan utang dari orang yangmenanggung itu tetap diakui sah sebelum ada bukti lepasnya tanggungan itu. Asalnyatetap sedemikian rupa sebelum ditetapkan apa yang mengubahnya.

Atas dasar istishhab inilah dibina prinsip-prinsip syariah sebagai berikut,asalnya adalah tetap adanya. Sebelum ditetapkan apa yang mengubahnya. Asalsesuatu itu dibolehkan. Yang tidak ditetapkan dengan yakin itu selalu diragukan. Asalseseorang itu bebas berbuat. Jika
istishhab itu menyediakan dirinya menjadi dalilterhadap hukum, dalam hal ini dibolehkan. Karena dalil itu pada hakekatnya ialahdalil yang ditetapakan oleh hukum yang berlaku istishhab itu tidak lain selain dari pengekalan dalil atas hukunya itu.Yang mereka maksud dengan ini ialah hujjah untuk mengekalkan apa yangsudah ada. Dan menolak apa yang berkaitan denganya, sampai ada dalil yangmenetapkan yang berbeda dengannya itu. Bukan merupakan hujjah untuk menetapkanhal yang tidak tetap. Ini jelas dari apa yang telah mereka tetapkan dalam halkehilangan. Yaitu hilangnya seseorang itu dan tidak diketahui di mana tempatnya, dantidak diketahui hidup dan matinya. Maka orang yang hilang menurut hukum,dianggap masih hidup sebelum adanya keterangan jelas atas meninggalnya orangtersebut.

Istishhab inilah yang menunjukan atas hidupnya, dan menjadi hujjahmenolakanya tuduhan orang atas meninggalnya. Begitu juga dalam warisan. Danmembatalkan sewa menyewa yang dilakukannya. Orang yang menceraikan istrinyatapi bukan merupakan hujjah untuk menerapkan warisanya itu tanpa dia. Karena ituhidupnya masih dianggap tetap dengan
istishhab. Hidup menurut anggapan bukan hidup yang sebenarnya.
Perbedaan Pendapat Ulama tentangIstishhab

Para ulam ushul fiqh seperti yang diungkan Muhammad Abu Zahrah, sepakat bahwa tiga macam yang disebut di atas adalah sah dijadikan landasan hukum. Mereka berbeda pendapat pada macam yang keempat, yaitu istishhab al-wasf . Inilah Istishhab yang menjadi perdebatan antara Syafi’iyah dan Hanabilah serta Zaidiyah danZahiriyah disatu pihak dengan Hanafiyah dan Malikiyah dipihak lain.
Dalam hal iniada beberapa pendapat :

a.Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa istishhabal-wasf
dapat dijadikan landasan secara penuh baik dalammenimbulkan hak yang baru maupun dalam mempertahankanhaknya yang sudah ada. Misalnya, seseorang yang hilang tidak tahutempatnya, tetap dianggap hidup sampai terbukti bahwa ia telahwafat. Oleh karena masih dianggap hidup, maka berlaku baginyasegala hal bagi orang hidup, seperti bahwa harta dan istrinya masihdianggap kepunyaannya, dan jika ada ahli warisnya yang wafat,maka dia turut mewarisi harta peninggalannya dan kadar  pembagianya langsung dinyatakan sebagai hak miliknya.

b. Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat, bahwa istishhabal-wasf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudahada bukan untuk menimbulkan hak baru. Dalam contoh di atas,orang yang hilang itu, meskipun ia masih dianggap hidup, yangdengan itu istrinya tetap dianggap sebagai istrinya dan hartanya juga masih berstatus sebagai hak miliknya sebagai orang yangmasih hidup. Jika terbukti ia telah wafat dan ternyata lebih duluwafatnya dibanding dengan waktu wafat ahli warisnya, maka kadar  pembagiannnya yang disimpan tersebut dibagai di antara ahli warisyang ada. Alasan mereka karena keadaanya masih hidup semata-mata didasarkan atas dalil istishhab yang berupa dugaan, bukanhidup secara fakta.

c.Ulama-ulama Hanafiyah menetapkan bahwa istishhab itu adalah hujah untuk menolak, bukan untuk menetapkan.
Berbeda dengan itu jumhur ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah dan Hanbaliah,Zhahiriyyah, dan Syi’ah memandang istishhab dapat dijadikan dalil hukum secaramutlak. Maka bagi jumhur ulama, orang hilang dapat menerima hak-haknya yang ada pada masa lalu yang muncul setelah hilangnya.
Mayoritas ulama kalam menolak istishhab
sebagai hujjah syariat, karena suatuyang diterapkan pada masa lalu harus dengan dalil sebagai mana hukum yangditerapkan pada masa sekarang dan akan datang. Sementara itu, ulama muta’akhirin ,Hanafiyyah berpendapat, istishhab hanya dapat diterapkan untuk melestarikan hukumyang telah ada pada masa lalu, tidak dapat diberlakukan pada hukum baru yang belumada sebelumnya, misalnya orang hilang hanya dapat menerima haknya pada masalalu, tetapi tidak dapat menerimanya setelah ia hilang.
Telah masyhur bahwa istishhab itu adalah hujjah pada posisi Syafi’i dan tidak hujjah, pada sisi Hanafi. Jadi pada madzab Hanafi, orang yang syak tentang wudlunyaitu, wajiblah dia berwudlu.

Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis di atas, maka dapat kami simpulkan bahwa dariempat macam istishhab merupakan hujjah yang masih menjadi perdebatan dikalangan ahli ushul fiqih yaituistishhab al-wasf

. Perdebatan antara Syafi’iyah danHanabilah serta Zaidiyah dan Zahiriyah disatu pihak dengan Hanafiyah dan Malikiyahdipihak lain. Dalam hal ini ada beberapa pendapat :

Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa istishhab al-wasf  dapat dijadikanlandasan secara penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalammempertahankan haknya yang sudah ada. Jumhur ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah danHanbaliah, Zhahiriyyah, dan Syi’ah memandang
istishhab dapat dijadikan dalilhukum secara mutlak. Maka bagi jumhur ulama, orang hilang dapat menerima hak-haknya yang ada pada masa lalu yang muncul setelah hilangnya

Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat, bahwa istishhab al-wasf
hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada bukan untuk menimbulkan hak baru. Ulama-ulama Hanafiyah menetapkan bahwa istishhab
itu adalah hujah untuk menolak, bukan untuk menetapkan.

Mayoritas ulama kalam menolak istishhab sebagai hujjah syariat, karena suatuyang diterapkan pada masa lalu harus dengan dalil sebagai mana hukum yang diterapkan pada masa sekarang dan akan datang.