Pendahuluan
Para ahli ushul fiqh
sepakat bahwa sumber hukum syariat terdiri atas al-Qur’an,Hadits,
ijma’ ,
dan Qiyas.
Di samping ketiga sumber hukum tersebut ada juga istishan,
istishhab,masalah mursalah.
Islam
memberikan kemudahan bagi umatnya untuk melakukan suatu amalibadah, berdasarkan
sumber-sumber hukum yang telah ada, diharapkan dapatmelaksankan suatu ibadah tanpa kesukaran dan
kesulitan. Oleh karenanya umat Islamdiberi ilmu dan akal fikiran untuk menggali
hukum-hukum dan berijtihad berdasarkankemampuanya
dan kapasitas keilmuannya. Sebagai mana disebutkan dalam haditsnabi.Dalam
hadits Rasulullah menanyakan pada sahabat Mu’adz:
"Bagaimana
(cara)kamu menetapkan hukum apabila dikemukakan suatu peristiwa kepadamu?
Mu'adz menjawab: Akan aku tetapkan berdasar al-Qur'an. Jika engkau tidak
memperolehnyadalam al-Qur'an? Mu'adz berkata:
Akan aku tetapkan dengan sunnah Rasulullah. Jika engkau tidak memperoleh
dalam sunnah Rasulullah? Mu'adz menjawab: Akuakan berijtihad dengan menggunakan
akalku dengan berusaha sungguh-sungguh.(Mu'adz berkata): Lalu Rasulullah
menepuk dadanya dan berkata: Segala puji bagi Allah
yang telah memberi petunjuk petugas yang diangkat Rasulullah, karena iaberbuat
sesuai dengan yang diridhai Allah dan Rasul-Nya.
" (HR. Ahmad Abu
Dauddan at-Tirmidzi)Dari hadits ini dapat
dipahami bahwa seorang boleh melakukan ijtihad dalammenetapkan hukum
suatu peristiwa jika tidak menemukan ayat-ayat al-Qur'an dan al-Hadits yang
dapat dijadikan sebagai dasarnya.Makalah ini
akan membahas masalah istishhab, sejauh mana kehujjahannyamenurut pandangan ulama ushul fiqh.
Pengertian
Arti Istishhab ialah
menuntut bersahabat atau menuntut beserta.
Danmunurut arti istilah ulama ushul ialah menetapakan hukum
pekerjaan padamasa yang lalu karena dianggap tidak ada pada masa sekarang.
Menurut ulama ahluushul fiqh
yaitu menetapkan hukum suatu perkara pada zaman sekarang atau zamanyang akan
datang sesuai dengan hukum yang ada pada pada masa lampau karena tidak ada
dalil yang merubahnya.
Sebagian lain menjelaskan,istishhab ialah melestarikan suatu ketentuan
hukumyang telah ada pada waktu lalu, hingga ada dalil yang mengubahnya.
Menurut Imam as-Syaukany:
Istishhabnadalah dali yang mengandung tetapnya suatu perkara selama
tidak adasuatu yang mengubahnya. Tetapnya sesuatu perkara selama tidak ada dalil
yang merubahnya. Istilah ini bisa dipahami dengan makna : apa yang sudah
ditetapkan padamasa lalu pada dasarnya merupakan sebagai sebuah ketetapan pula
pada masa yangakan datang.
”Menurut
Abdul Karim Zaidan (ahli Ushul Fiqh Berkebangsaan Mesir),
Istishhab yaitu menganggap tetapnya sesuatu seperti keadaannya semula
selama belum terbuktiada sesuatu yang
mengubahnya.
Menurut Ibnu
Hazm,
Istishhab adalah tetapnya hukum
asal yang ditetapkandengan nas sampai adanya dalil yang merubahnya,
beliau membatasi istishhab denganhukum asal yang didasarkan pada nas, bukan
hanya hukum asal yang ditetapkan darikebolehkan
semata.
Menurut Ibnu al-Qayyim al-Jawziyah
tokoh ushul fiqh Hanbali, yaitu:
Yaitu tetapnya sebuah ketentuan yang
sebelumnya sudah menjadi suatuketentuan
atau tetapnya sebuah larangan yang sebelumnya sudah menjadi
larangan.Menempatkan berlakunya suatu hukum yang telah ada atau meniadakan
sesuatu yangmemang tiada samapai ada bukti yang mengubah kedudukannya.
Misalnya, seseorang yang diketahui masih
hidup pada masa tertentu, tetapi dianggap telah wafat.Demikian pula
halnya, seseoranga yang sudah memastikan bahwa ia telah berwudhu,dianggap tetap wudhunya selama belum terjadi hal
yang membuktikan batalwudhunya. Dalam hal ini adanya keraguan batalnya
wudhu tanpa bukti yang nyata,tidak bias mengubah kedudukan hukum wudhu
tersebut. Istishhab ialah menjadikanlestari
keadaan sesuatu yang sudah ditetapkan pada masa lalu sebelum ada dalil yang merubahnya.
Jadi, apabila sudah ditetapkan suatu
perkara pada suatu waktu, maka ketentuanhukumnya seperti itu, sebelum ada dalil
baru yang mengubahnya. Sebaliknya apabilaseuatu perkara telah ditolak pada
suatu waktu, maka penolakan tersebut tetap berlakusampai akhir masa, sebelum
terdapat dalil yang menerima (mentsabitkan) perkara itu.
Macam-macam Istishhab
Menurut Abu Zahrah menyebutkan empat
macam istishhab sebagai berikut:1.
Istishhab al-ibahah al-ashliyah
Yaitu istishhab
yang
didasarkan atas hukum asal dari sesuatu yang mubah(boleh). Istishhab
semacam ini banyak berperan dalam menetapkan hukum di bidangmuamalah. Landasannya adalah setiap prinsip yang
mengatakan, bahwa dasar darisesuatu yang bermanfaat boleh dilakukan dalam
kehidupan umat manusia selamatidak ada dalil yang melarangnya, misalnya
makanan, minuman, hewan, tumbuh-tumbuhan
dan lain-lain selama tidak ada dalil yang melarangnya, adalah halaldimakan
atau boleh dikerjakan. Prinsip tersebut berdasarkan ayat 29 Surat al-Baqarah:
Dia-lah Allah, yang menjadikan
segala yang ada di bumi untuk kamu dan Diaberkehendak (menciptakan) langit,
lalu dijadikan-Nya tujuh langit. dan Dia Mahamengetahui segala sesuatu.( QS.
Al-Baqarah 2: 29)
Ayat tersebut menegakan bahwa segala apa yang ada di bumi
dijadikan untuk umat manusia dalam pengertian boleh dimakan makananya atau
boleh dilakukan hal-hal yang membawa manfaat bagi kehidupan manusia. Dalam
konteks ini, jika adalarangan berarti pada makanan atau dalam perbuatan itu
terdapat bahaya bagikehidupan manusia. Maka berdasarkan hal tersebut di atas,
sesuatu makanan atau sesuatu tindakan tetap dianggap halal atau boleh dilakukan
seperti hukum aslinya,selama tidak ada dalil yang melarang.
2.Istishhab al-baraah al-ashliyah Istishhab al-baraah
al-ashliyah
(kebebasan asli) seperti kebebasan tanggung jawab beben
syara’ senbelum ada dalil yang menunjukan nadanya beban tersebut,semisal:
• Jika ia masih kecil, maka ia bebas sebelum sampai baligh.
• Jika ia tidak mengetahui dan ia tinggal di negeri harby,
maka ia bebas menjelang ia tahu dan ia atau menjelang ia sampai ke negeriIslam.
• Tidak tsabit -nya
hak antara suami isteri, sebelum terjadi akad nikahyang men-tsabitkan hak tersebut.
Istishhabyang didasarkan atas prinsip bahwa pada dasarnya
setiap orang bebasdari tuntutan bebanta’lif sampai ada dalil yan mengubah
statusnya itu dan bebas dariutang atau kesalahan sampai ada bukti yang mengubah
statusnya itu. Seorang yangmenuntut bahwa haknya terdapat pada diri seseoarang,
ia harus mampumembuktikannya karena pihak tertuduh pada dasarnya bebas dari
segala tuntutan, danstatus bebasnya itu tidak bias diganggu gugat kecuali
dengan bukti yang jelas. Jadiseseorang dengan prinsipistishhabakan selalu
dianggap berada pada status tidak
bersalahnya sampai ada bukti yang mengubahnya statusnya itu.
3.Istishhab al hukm
Yaitu tetapnya hukum sesuatu mubah sebelum ada dalil yang
menunjukan iadiharamkan dan tetapnya hukum sesuatu haram sebelum ada alil yang
menunjukankebolehannya.
Sebagaimana yang telah disebutkan dalam al-Qur’an surat
al-Baqarahayat 29.
Istishhab yang didasarkan
atas tetapnya suatu hukum yang sudah ada selamatidak ada bukti yang
mengubahnya. Misalnya, seseorang yang memiliki sebidangtanah atau harta
bergerak seperti mobil, maka harta miliknya itu tetap dianggap adaselama tidak
terbukti dengan peristiwa yang mengubah status hukum itu, seperti dijualatau
dihibahkannya pada pihak lain. Seseorang yang sudah jelas berhutang pada
sifulan, akan selalu dianggap berhutang sampai ada yang mengubahnya,
sepertimembayarnya sendiri atau pihak yang berpiutang membebaskannya dari utang
itu.
Seorang yang jelas telah mengakadkan nikah terhadap seorang
wanita, maka wanitaakan dianggap sebagai istirinya sampai terbukti telah
diceraikannya.
4.Istishhab al-wasf
Yaitu istishhab yang didasarkan pada anggapan masih tetapnya
sifat yangdiketahui ada sebelumnya sampai ada bukti yang mengubahnya. Misalnya
sifat hidupyang dimiliki seseorang yang hilang tetap dianggap masih ada sampai
ada buktisampai ia telah wafat. Demikian pula air yang diketahui bersih, tetap
dianggap bersihselama tidak ada bukti yang mengubah statusnya itu.
Inilah istishhab yang jadi pertikaian antara Syafi’i dan
Hanafi serta Zaidiyah dan Zahiriyah disatu pihak denganHanafiyah dan Malikiyah
dipihak lain.Menurut Syafi’iyah, Hanabilah serta Zaidiyah dan Zahiriyah berpendapat
bahwahak-hak yang baru timbul tetap menjadi hak seseorang yang berhak terhadap
hak-haknya terdahulu. Dalam masalah seorang yang hilang tak tahu rimbanya
Dalammasalah orang yang hilang tak tahu rimbanya dan tak diketahui hidup
matinya, tetapdihukumkan hidup berdasarkan istishhab, sebelum ada keterangan
kematiannya. Olehkarena itu, sama dengan orang yang masih hidup, sehingga ia
tetap mewarisi,menerima wasiat menerima hak-hak lain semasa hilangnya, yang
merupaka hak-hak baru. Dia pun belum
boleh diwarisi dan istrinya tetap sebagai istrinya.
Hanafiyah dan Malikiyah membatasi istishhab terdapat aspek
yang menolak sajadan tidak terhadap aspek yang menarik (ijaby), menjadi hujjah
untuk menolak tetapitidak untuk men-tsabit-kan. Ini berarti bahwa orang yang
hilang tadi hanyamempunyai hak terhadap hak-haknya yang tealah ada, dengan arti
tidak bolehdihilangkan dari dia, tetapi ia tidak mempunyai hak baru yang belum
ada sejak hilang.
Ini berarti pula bahwa istishhab bukan merupakan dalil baru
yang men-tsabit-kan, tetapi berpegang pada asal yang sudah tsabit dan tidak ada
dalil yangmengubahnya. Maka pengaruhnya hanya terbatas pada hak-hak yang sudah
ada dantidak melebar kepada hal-hak baru yang belum ada sebelumnya. Maka orang
yanghilang tadi tetap dihukumi hidup berdasar istishhab dan hak-haknya yang
sudah tetapmenjadi miliknya, tidak boleh diwarisi, tidak boleh dikawini
istrinya sebelum ada petujuk tentang kematiannya atau sebelum diputuskan oleh
Qadi. Akan tetapi ia tidak boleh lagi
mewarisi pewarisnya, tetapi baginya ditahan dulu menjelang diketahui
perihalnya.
Berdasarkan al-Istishhab ini lah para ahlu fiqh mengeluarkan
beberapa
qaidah fiqiyyah, antara lain:
Qaidah Pertama :
Menurut hukum asal
adalah kekal apa yang terdahulu sebagaimana adanya sehingga sabit ada sesuatu
yang mengubahnya.
Oleh itu orang yang hilang umpamanya adalah dihukumkan masih
hidupsehingga ada bukti atau dalil yang menunjukkan kepada kematiannya. Dengan
itu,harta orang hilang itu tidak difara'idhkan dan haknya di dalam harta waris
dibekukan sehingga di-tsabit-kan orang itu masih ada atau hidup atau mati
menurut jumhur ulama.
Qaidah kedua:
Hukum asal terhadap sesuatu itu adalah boleh.
Berdasarkan kaedah ini adalah dihukumkan sah setiap akad atau
tindakan-tindakan yang tidak ada dalil syara' yang menunjukkan dilarangnya atau
batalnya akadatau tindakan-tindakan itu.
Qaidah ketiga:
Hukum asal pada tanggungan itu ialah bebas dari pada segala
bebantanggungan dan kewajiban menunaikan hak.Oleh itu tidak harus mensabitkan
sesuatu tanggungan ke atas seseorang ataumenisbahkan sesuatu kepada seseorang
kecuali dengan ada dalil.
Qaidah keempat:
Keyakinan tidak hilang dengan keraguan yaitu terangkat hukum
sesuatu yang diyakini dengan keraguan.
Contoh dari qaidah itu
antara lain, barangsiapa yang ragu-ragu dalam hitunganraka’at shalat, apakah 3
atau 4 raka’at maka dia wajib menetapkan 3 raka’at.
Barangsiapa yang ragu-ragu apakah masih suci atau sudah
batal, maka dia wajib yakin bahwa dia masih suci dan barangsiapa yang yakin
kalau dia telah berhadas dan ragu-ragu apakah sudah berwudlu maka dia wajib
yakin bahwa dia masih hadas. Oleh itu barang siapa yakin bahawa dia telah
berwudhu dan merasa ragu-ragu berhadas,dihukumkan kekal wudhunya itu.
Kehujahan Istishhab
Istishhabitu lain dari dalil syar’i yang menjadi dasar dari
mujtahid untuk mengetahui hukum, tentang apa yang dikemukakan kepadanya. Ahli
Ushulmengatakan, selain dari lingkungan fatwa dan hukum terhadap sesuatu itu,
maka tetapdemikian adanya, sebelum ada dalil yang mengubahnya. Seorang itu
tetap dianggaphidup di mana dia berada, sebelum ada keterangan yang jelas yang
mengatakan bahwaatas kematiannya itu. Orang tahu bahwa si fulan adalah istri si
fulan, hal inidibuktikan dengan perkawinannya itu, sebelum ada perceraian atas
perkawinannyaitu. Setiap orang tahu perbuatan hukum, sebelum ada bukti atas
tidak adanya itu.Sebaliknya, orang tidak dianggap tahu tidak adanya perbuatan
_hukum, sebelumdikemukakan bukti atas adanya itu.
Pengunaan istishhab sebagai hujah ketika tidak ada dalil itu
para ulama terbagimenjadi tiga mazhab:
1.Pendapat mayoritas ahli ilmu kalam:
Menurut mereka istishhab itu sama sekali tidak dapat
dijadikan hujjah karenaketetapkan hukum di zaman awal itu membutuhkan dalil
sebagaimana padazaman berikutnya. Sesungguhnya pada suatu zaman itu boleh ada
dalil dan boleh tidak. Menurut mereka ketentuan ini khusus terkait dengan
hukum-hukum syara’. Sedangkan yang terkait dengan hal-hal yang bersifat fisik
ituAllah swt memberlakukan adat kebiasaan dengan istishhab
2.Pendapat jumhur ulama Hanafiyah kontemporer (masa
sekarang), menurut merekaistishhab itu dapat dijadikan hujjah untuk meniadakan
suatu hukum bukan untuk menetapkan, maksudnya meniadakan suatu hukum yang
belumditetapkan, sehingga dikatakan bahwasanya istishhab
itu menjadi hujjah untuk menetapkan sesuatu hukum sesuaai
hukum asal yang telah ada, bukan untuk menetapkan hukum yang telah ada.
3.Pendapat jumhur ulama Malikiyah, Syafi’iyah, Hanabilah
danZahiriyah
menurut mereka istishhab itu dapat dijadikan hujjah secara
mutlak untuk menetapkan hukum yang sudah tetap samapai ada dalil yang
merubahnya,sehingga mencakup penetapkan hukum yang sudah ada dan
menetapkanhukum yang belum ada.
Ulama syafi’iyah mendukung kehujjahan istishhab dengan dua
dalil
1.Bahwasanya sesuatu yang di zaman awal telah ditetrapkan ada
dan tidak adanya, tidak jelas secara pasti maupun dhani bahwa sesuatu tersebut
telahhilang, maka secara pasti harus hukumya harus ditetapkan sesuai hukumyang
telah ada.
2.Bahwasanya tetapnya hukum pada sesuatu yang ada kemudian
itu lebihutama dari pada ketiadaan hukum.3.Menurut ijma’ istishhab itu terjadi
pada banyak persoalan-persoalan fiqhyang bersifat
furu’iyah
, seperti tetapnya wudlu, hadas, hubungan suamiisteri, dan
kepemilikan walaupun ada keraguan bahwa hal-hal tersebut telah hilang.
Istishhab suatu hukum yang telah ditetapkan dengan ijma’ yang
memungkinkan terjadi khilaf di antara para ulama, misalnya para mujtahid telah
sepakat suatu hukum pada kondisi tertentu, namun karena sifat dari sesuatu yang
hukumnya disepakati itu berubah sehingga para ulama berselisih pendapat,
seperti ijma’ para fuqaha atassahnya shalat ketika tidak ada air, ketika orang
yang bertayamum selesaimelaksanakan shalat sebelum melihat air maka shalatnya
sah. Namun apabila iamelihat air ditengah-tengah shalat, apakah shalatnya
menjadi batal sehingga harusmengulangi lagi dengan wudlu ataukah tidak?
Menurut imam Syafi’i dan imam Malik shalatnya tidak sah, ia
cukup menyempurnakannya sampai selesai karena menurut ijma’ shalat tersebut sah
sebelummelihat air, sehingga ijma’ tersbut dijadikan istishhab samapi ada dalil
yangmenunjukan melihat air itu dapat membatalkan shalat., dikarena dalil
yangmenunjukan atas sahnya masuk dalam ritual shalat itu menunjukkan atas tetapnyahukum
tersebut sampai ada dalil yang memutusnya. Dilain pihak para ulama yang melarang
istishhab seperti imam Abu Hanifah dan imam Ahmad itu berpendapat bahwa
shalatnya orang tersebut batal tanpa melihat adanya ijma’ tentang sahnyashalat
sebelum melihat air., karena ijma’ tersebut terjadi ketika air tidak ada
bukanketika air itu ada sehingga orang yang mau menyamakan sesuatu yang tidak
adadengan sesuatu yang ada itu harus menunjukan dalil.
Berdasar di sekitar inilah hukum itu ada. Hak milik itu tetap
dianggap tetap bagisiapa saja dengan salah satu sebab yang dapat dipertahankan
sebelum ditetapkan apayang menghilangkan hak milik tersebut. Persetubuhan
dianggap halal bagi suami istridengan adanya akad nikah, sebelum ada keterangan
untuk membubarkan perkawinanitu. Perjanjian yang bersangkut dengan utang
piutang dianggap pasti sebelum ada bukti atas hapusnya utang piutang tersebut.
Tanggungan utang dari orang yangmenanggung itu tetap diakui sah sebelum ada
bukti lepasnya tanggungan itu. Asalnyatetap sedemikian rupa sebelum ditetapkan
apa yang mengubahnya.
Atas dasar istishhab inilah dibina prinsip-prinsip syariah
sebagai berikut,asalnya adalah tetap adanya. Sebelum ditetapkan apa yang
mengubahnya. Asalsesuatu itu dibolehkan. Yang tidak ditetapkan dengan yakin itu
selalu diragukan. Asalseseorang itu bebas berbuat. Jika
istishhab itu menyediakan dirinya menjadi dalilterhadap
hukum, dalam hal ini dibolehkan. Karena dalil itu pada hakekatnya ialahdalil
yang ditetapakan oleh hukum yang berlaku istishhab itu tidak lain selain dari
pengekalan dalil atas hukunya itu.Yang mereka maksud dengan ini ialah hujjah
untuk mengekalkan apa yangsudah ada. Dan menolak apa yang berkaitan denganya,
sampai ada dalil yangmenetapkan yang berbeda dengannya itu. Bukan merupakan
hujjah untuk menetapkanhal yang tidak tetap. Ini jelas dari apa yang telah
mereka tetapkan dalam halkehilangan. Yaitu hilangnya seseorang itu dan tidak
diketahui di mana tempatnya, dantidak diketahui hidup dan matinya. Maka orang
yang hilang menurut hukum,dianggap masih hidup sebelum adanya keterangan jelas
atas meninggalnya orangtersebut.
Istishhab inilah yang menunjukan atas hidupnya, dan menjadi
hujjahmenolakanya tuduhan orang atas meninggalnya. Begitu juga dalam warisan.
Danmembatalkan sewa menyewa yang dilakukannya. Orang yang menceraikan
istrinyatapi bukan merupakan hujjah untuk menerapkan warisanya itu tanpa dia.
Karena ituhidupnya masih dianggap tetap dengan
istishhab. Hidup menurut anggapan bukan hidup yang sebenarnya.
Perbedaan Pendapat Ulama tentangIstishhab
Para ulam ushul fiqh seperti yang diungkan Muhammad Abu
Zahrah, sepakat bahwa tiga macam yang disebut di atas adalah sah dijadikan
landasan hukum. Mereka berbeda pendapat pada macam yang keempat, yaitu
istishhab al-wasf . Inilah Istishhab yang menjadi perdebatan antara Syafi’iyah
dan Hanabilah serta Zaidiyah danZahiriyah disatu pihak dengan Hanafiyah dan
Malikiyah dipihak lain.
Dalam hal iniada beberapa pendapat :
a.Kalangan Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa
istishhabal-wasf
dapat dijadikan landasan secara penuh baik dalammenimbulkan
hak yang baru maupun dalam mempertahankanhaknya yang sudah ada. Misalnya,
seseorang yang hilang tidak tahutempatnya, tetap dianggap hidup sampai terbukti
bahwa ia telahwafat. Oleh karena masih dianggap hidup, maka berlaku
baginyasegala hal bagi orang hidup, seperti bahwa harta dan istrinya
masihdianggap kepunyaannya, dan jika ada ahli warisnya yang wafat,maka dia
turut mewarisi harta peninggalannya dan kadar
pembagianya langsung dinyatakan sebagai hak miliknya.
b. Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat, bahwa
istishhabal-wasf hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudahada bukan
untuk menimbulkan hak baru. Dalam contoh di atas,orang yang hilang itu,
meskipun ia masih dianggap hidup, yangdengan itu istrinya tetap dianggap
sebagai istrinya dan hartanya juga masih berstatus sebagai hak miliknya sebagai
orang yangmasih hidup. Jika terbukti ia telah wafat dan ternyata lebih
duluwafatnya dibanding dengan waktu wafat ahli warisnya, maka kadar pembagiannnya yang disimpan tersebut dibagai
di antara ahli warisyang ada. Alasan mereka karena keadaanya masih hidup
semata-mata didasarkan atas dalil istishhab yang berupa dugaan, bukanhidup
secara fakta.
c.Ulama-ulama Hanafiyah menetapkan bahwa istishhab itu adalah
hujah untuk menolak, bukan untuk menetapkan.
Berbeda dengan itu jumhur ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah dan
Hanbaliah,Zhahiriyyah, dan Syi’ah memandang istishhab dapat dijadikan dalil
hukum secaramutlak. Maka bagi jumhur ulama, orang hilang dapat menerima hak-haknya
yang ada pada masa lalu yang muncul setelah hilangnya.
Mayoritas ulama kalam menolak istishhab
sebagai hujjah syariat, karena suatuyang diterapkan pada masa
lalu harus dengan dalil sebagai mana hukum yangditerapkan pada masa sekarang
dan akan datang. Sementara itu, ulama muta’akhirin ,Hanafiyyah berpendapat,
istishhab hanya dapat diterapkan untuk melestarikan hukumyang telah ada pada
masa lalu, tidak dapat diberlakukan pada hukum baru yang belumada sebelumnya,
misalnya orang hilang hanya dapat menerima haknya pada masalalu, tetapi tidak
dapat menerimanya setelah ia hilang.
Telah masyhur bahwa istishhab itu adalah hujjah pada posisi
Syafi’i dan tidak hujjah, pada sisi Hanafi. Jadi pada madzab Hanafi, orang yang
syak tentang wudlunyaitu, wajiblah dia berwudlu.
Kesimpulan
Dari uraian yang telah penulis di atas, maka dapat kami
simpulkan bahwa dariempat macam istishhab merupakan hujjah yang masih menjadi
perdebatan dikalangan ahli ushul fiqih yaituistishhab al-wasf
. Perdebatan antara Syafi’iyah danHanabilah serta Zaidiyah
dan Zahiriyah disatu pihak dengan Hanafiyah dan Malikiyahdipihak lain. Dalam
hal ini ada beberapa pendapat :
Hanabilah dan Syafi’iyah berpendapat bahwa istishhab
al-wasf dapat dijadikanlandasan secara
penuh baik dalam menimbulkan hak yang baru maupun dalammempertahankan haknya
yang sudah ada. Jumhur ulama Malikiyyah, Syafi’iyyah danHanbaliah, Zhahiriyyah,
dan Syi’ah memandang
istishhab dapat dijadikan dalilhukum secara mutlak. Maka bagi
jumhur ulama, orang hilang dapat menerima hak-haknya yang ada pada masa lalu
yang muncul setelah hilangnya
Kalangan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat, bahwa istishhab
al-wasf
hanya berlaku untuk mempertahankan haknya yang sudah ada
bukan untuk menimbulkan hak baru. Ulama-ulama Hanafiyah menetapkan bahwa
istishhab
itu adalah hujah untuk menolak, bukan untuk menetapkan.
Mayoritas ulama kalam menolak istishhab sebagai hujjah
syariat, karena suatuyang diterapkan pada masa lalu harus dengan dalil sebagai
mana hukum yang diterapkan pada masa sekarang dan akan datang.